Posted in Random, Refleksi

Takut

Selain ular dan adaptasi pada hal yang baru, saya juga punya 2 ketakutan lain. Takut pada hal yang tiba-tiba terjadi dan takut mati tanpa punya tabungan amal yang cukup. Kemarin bisa jadi hari yang baik-baik saja, esoknya saya menerima kabar duka. Kemarin bisa tertawa, esoknya bisa jadi maut menyapa. Kemarin bisa bermesra, esoknya bisa diam-diam saja. Kemarin berbalut luka, esoknya kembali ceria. Sungguh, saya tidak bisa mencerna kabar yang tiba-tiba. Kembali lagi, hati saya butuh adaptasi yang lama. Mencerna pelan-pelan setiap situasi yang ada. Iya benar, saya pembelajar yang lambat. Karena lagi-lagi, hati saya butuh ‘diam’ di tempat untuk kembali mengumpulkan potongan mozaik yang berserakan.

Terakhir, perkara mati. Siapa yang bisa menerka? Tuhan berkata maut sangat dekat, melebihi urat nadi. Apa yang bisa saya banggakan dari ibadah wajib. Ibadah yang hanya berbekal sebagai penggugur kewajiban semata. Masih punya keinginan duniawi. Masih sulit mengontrol emosi. Saya hanya berharap dan selalu meminta padaNya diam-diam, bahwa akan ada satu momen dalam hidup saya benar-benar bertaubat. Semoga jika suatu saat itu tiba, saya tidak dalam keadaan menyesal karena satu persatu sudah diambilNya.